Rabu, 13 September 2017

cerpen sejarah

Perjuangan Pangeran Diponegoro Melawan Belanda

            Saat itu aku baru saja pulang dari pasar. Aku senang karena hari ini hasil daganganku habis terjual. Artinya aku bisa membayar pajak yang hingga saat ini benar-benar membebaniku. Kususuri jalan yang begitu sempit dan sunyi untuk sampai kerumah. Ya aku sengaja mengambil jalan ini padahal ada jalan lain yang lebih luas dan ramai tapi sayangnya banyak meneer meneer belanda yang berjaga dan berlalu lalang disana. Aku malas melihat wajah-wajah mereka, rasanya aku ingin mengusir mereka dari tempat yang dulunya damai ini. Bagaimana tidak, mereka telah membuat rakyat Yogyakarta menderita.  Namun apa daya aku hanya seorang rakyat kecil biasa yang tak bisa berbuat apa-apa.         
            Tiba-tiba langkah kakiku terhenti melihat segerombolan orang di sebuah rumah kecil, dengan rasa penasaran kuhampiri rumah itu dan berusaha mendengarkan suara lantang seseorang yang sedang membicarakan keagamaan juga masalah mengenai rakyat kecil yang tertindas oleh Belanda. Aku tertarik dengan topik pembicaraan ini akhirnya aku bergabung dengan segerombolan orang tersebut. Kudengarkan dengan seksama. Aku senang melihat semangatnya yang berkobar membela rakyat kecil. Aku penasaran siapa orang itu? Kutanya pada salah seorang yang duduk disampingku.
“ Apakah kau tahu siapa orang  yang sedang berbicara didepan itu?” tanyaku sambil berbisik.
“ Kau tidak tahu rupanya, dia itu pangeran Diponegoro,  dia seorang ulama juga salah seorang anak dari Sultan Hamengkubuwono III tapi beliau begitu merakyat dengan rakyat kecil seperti kami.”
            “ oh begitu” sambil menganggukan kepala.
Setelah itu aku bergegas pulang kerumah.
***
            Hari ini daganganku sedang sepi, aku bosan. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi kerumah temanku yang tidak jauh dari pasar. Kulangkahkan kakiku menyusuri jalan setapak ini. Tiba-tiba terdengar suara orang memanggilku, terasa tidak asing ditelingaku.
            “  Yo, Daryo “ panggilnya
Kucari sumber suara itu. Ternyata  dia temanku, Sutejo. Dengan suara terengah-engah dia menghampiriku.         
“  Lek, kowe arep ngendi ? “ tanyanya.
            “ Aku arep ngomahe Ngateman lek, kowe arep melu po ra? “
            “ Yowes yo tak kancani”
            Saat asyik mengobrol, tiba-tiba terlihat banyak orang berlarian dan terlihat asap tebal di seberang jalan, aku mencoba mencari tahu pada seorang warga setempat yang sedang berlarian tersebut.  
“ Pak, badhe nyuwun pirsa teng mriku wonten menapa nggeh? “ tanyaku dengan penuh rasa penasaran.
“ O kuwi lek omahe Pangeran Diponegoro kebakaran, dibakar wong londo “
“ O maturnuwun nggeh pak”
Aku dan temanku segera menghampiri lokasi kejadian itu. Memang benar kulihat terjadi perseteruan antara orang-orang pribumi dengan dengan orang-orang belanda itu. Didalam benakku ingin membantu dan membela orang pribumi itu tetapi temanku mencegahnya.  Teriknya panas matahari membuat kami berteduh di sebuah warung dekat lokasi kejadian. Tak sengaja kudengar pembicaraan ibu pemilik warung dengan seorang bapak-bapak tua, ya mereka membicarakan perseteruan Pangeran Diponegoro dengan orang-orang Belanda. Kudengar orang Belanda itu ingin membuat jalan baru tetapi melewati tanah leluhur sang Pangeran. Namun Pangeran Diponegoro tetap bersikukuh untuk memepertahankan tanah leluhurnya itu. Jelas saja jika aku menjadi Pangeran pun aku akan melakukan hal yang sama, pikirku.
Beberapa hari  telah berlalu, kudapati informasi bahwa terjadi peperangan antara Pangeran Diponegoro dengan Belanda.  Perjuangannya mengusir Belanda dari bumi tercinta ini mendapat sambutan baik dari beberapa pihak hingga seorang ulama besar pun membantunya. Ya walaupun aku tak ikut berpartisipasi secara langsung aku tetap mendukung perjuangan beliau untuk mengusir orang-orang Belanda. Mungkin aku bisa disebut sebagai pemuda yang lemah dan tak bisa berbuat apa-apa tetapi aku juga berusaha dan mendoakan agar perjuangan beliau berhasil.
Hari demi hari kujalani seperti biasanya meski terkadang timbul rasa cemas, khawatir, takut akan terjadinya peperangan ini. Berharap penderitaan ini segera berakhir. Setiap sudut jalan kutemui orang-orang Belanda beserta antek-anteknya. Raut wajahnya begitu serius dan menakutkan, mungkin mereka sibuk menyusun strategi dan mengawasi kami. Tampaknya diseberang jalan juga sedang dibangun benteng pertahanan.  Terkadang dalam benakku timbul pertanyaan mengapa mereka justru mendukung Belanda yang jelas-jelas selalu menindas rakyat dan haus akan kekuasaan. Tidakkah mereka memiliki hati nurani untuk membantu kami rakyat kecil yang tertindas.
Tak terasa lima tahun sudah semenjak tahun 1925, peperangan antara Pangeran Diponegoro dengan Belanda telah berakhir. Meski sempat mengalami kemenangan. Namun pada akhirnya semangat Pangeran Diponegoro harus berhenti karena beliau ditangkap saat terjadi perundingan dengan Belanda. Namun aku tetap bangga pada beliau yang berani dan semangatnya yang berkobar untuk mengusir orang-orang Belanda yang telah menindas rakyat kecil sepertiku. 





               
               


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tidak cantik, tidak pintar, tidak berbakat, tidak pandai bersosialisasi, tidak alim pula. Terkadang aku iri pada mereka yang diciptakan deng...