Perjuangan Pangeran Diponegoro
Melawan Belanda
Saat
itu aku baru saja pulang dari pasar. Aku senang karena hari ini hasil
daganganku habis terjual. Artinya aku bisa membayar pajak yang hingga saat ini
benar-benar membebaniku. Kususuri jalan yang begitu sempit dan sunyi untuk
sampai kerumah. Ya aku sengaja mengambil jalan ini padahal ada jalan lain yang
lebih luas dan ramai tapi sayangnya banyak meneer meneer belanda yang berjaga
dan berlalu lalang disana. Aku malas melihat wajah-wajah mereka, rasanya aku
ingin mengusir mereka dari tempat yang dulunya damai ini. Bagaimana tidak,
mereka telah membuat rakyat Yogyakarta menderita. Namun apa daya aku hanya seorang rakyat kecil
biasa yang tak bisa berbuat apa-apa.
Tiba-tiba
langkah kakiku terhenti melihat segerombolan orang di sebuah rumah kecil,
dengan rasa penasaran kuhampiri rumah itu dan berusaha mendengarkan suara
lantang seseorang yang sedang membicarakan keagamaan juga masalah mengenai
rakyat kecil yang tertindas oleh Belanda. Aku tertarik dengan topik pembicaraan
ini akhirnya aku bergabung dengan segerombolan orang tersebut. Kudengarkan
dengan seksama. Aku senang melihat semangatnya yang berkobar membela rakyat
kecil. Aku penasaran siapa orang itu? Kutanya pada salah seorang yang duduk
disampingku.
“ Apakah kau tahu siapa
orang yang sedang berbicara didepan
itu?” tanyaku sambil berbisik.
“ Kau tidak tahu
rupanya, dia itu pangeran Diponegoro,
dia seorang ulama juga salah seorang anak dari Sultan Hamengkubuwono III
tapi beliau begitu merakyat dengan rakyat kecil seperti kami.”
“
oh begitu” sambil menganggukan kepala.
Setelah itu aku bergegas pulang kerumah.
***
Hari
ini daganganku sedang sepi, aku bosan. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi
kerumah temanku yang tidak jauh dari pasar. Kulangkahkan kakiku menyusuri jalan
setapak ini. Tiba-tiba terdengar suara orang memanggilku, terasa tidak asing
ditelingaku.
“ Yo, Daryo “ panggilnya
Kucari sumber suara itu. Ternyata dia temanku, Sutejo. Dengan suara
terengah-engah dia menghampiriku.
“ Lek, kowe arep ngendi ? “ tanyanya.
“
Aku arep ngomahe Ngateman lek, kowe arep melu po ra? “
“
Yowes yo tak kancani”
Saat
asyik mengobrol, tiba-tiba terlihat banyak orang berlarian dan terlihat asap
tebal di seberang jalan, aku mencoba mencari tahu pada seorang warga setempat
yang sedang berlarian tersebut.
“ Pak, badhe nyuwun
pirsa teng mriku wonten menapa nggeh? “ tanyaku dengan penuh rasa penasaran.
“ O kuwi lek omahe
Pangeran Diponegoro kebakaran, dibakar wong londo “
“ O maturnuwun nggeh
pak”
Aku dan temanku segera
menghampiri lokasi kejadian itu. Memang benar kulihat terjadi perseteruan
antara orang-orang pribumi dengan dengan orang-orang belanda itu. Didalam
benakku ingin membantu dan membela orang pribumi itu tetapi temanku
mencegahnya. Teriknya panas matahari
membuat kami berteduh di sebuah warung dekat lokasi kejadian. Tak sengaja
kudengar pembicaraan ibu pemilik warung dengan seorang bapak-bapak tua, ya
mereka membicarakan perseteruan Pangeran Diponegoro dengan orang-orang Belanda.
Kudengar orang Belanda itu ingin membuat jalan baru tetapi melewati tanah
leluhur sang Pangeran. Namun Pangeran Diponegoro tetap bersikukuh untuk memepertahankan
tanah leluhurnya itu. Jelas saja jika aku menjadi Pangeran pun aku akan
melakukan hal yang sama, pikirku.
Beberapa hari telah berlalu, kudapati informasi bahwa
terjadi peperangan antara Pangeran Diponegoro dengan Belanda. Perjuangannya mengusir Belanda dari bumi
tercinta ini mendapat sambutan baik dari beberapa pihak hingga seorang ulama
besar pun membantunya. Ya walaupun aku tak ikut berpartisipasi secara langsung
aku tetap mendukung perjuangan beliau untuk mengusir orang-orang Belanda.
Mungkin aku bisa disebut sebagai pemuda yang lemah dan tak bisa berbuat apa-apa
tetapi aku juga berusaha dan mendoakan agar perjuangan beliau berhasil.
Hari demi hari kujalani
seperti biasanya meski terkadang timbul rasa cemas, khawatir, takut akan
terjadinya peperangan ini. Berharap penderitaan ini segera berakhir. Setiap
sudut jalan kutemui orang-orang Belanda beserta antek-anteknya. Raut wajahnya
begitu serius dan menakutkan, mungkin mereka sibuk menyusun strategi dan
mengawasi kami. Tampaknya diseberang jalan juga sedang dibangun benteng
pertahanan. Terkadang dalam benakku timbul
pertanyaan mengapa mereka justru mendukung Belanda yang jelas-jelas selalu
menindas rakyat dan haus akan kekuasaan. Tidakkah mereka memiliki hati nurani
untuk membantu kami rakyat kecil yang tertindas.
Tak terasa lima tahun sudah
semenjak tahun 1925, peperangan antara Pangeran Diponegoro dengan Belanda telah
berakhir. Meski sempat mengalami kemenangan. Namun pada akhirnya semangat
Pangeran Diponegoro harus berhenti karena beliau ditangkap saat terjadi
perundingan dengan Belanda. Namun aku tetap bangga pada beliau yang berani dan
semangatnya yang berkobar untuk mengusir orang-orang Belanda yang telah
menindas rakyat kecil sepertiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar